Jumlah populasi: kurang lebih 3 juta.
Kawasan dengan populasi yang signifikan
Lombok: 2,5 juta.
Bahasa: Bahasa Sasak dan bahasa Indonesia.
Agama: Islam, Islam Wetu Telu dan sebuah minoritas kecil Hindu-Buddha.
Kelompok etnik terdekat: Suku Bali dan penghuni pulau Sumbawa.
Kampung adat Sade
Kawasan dengan populasi yang signifikan
Lombok: 2,5 juta.
Bahasa: Bahasa Sasak dan bahasa Indonesia.
Agama: Islam, Islam Wetu Telu dan sebuah minoritas kecil Hindu-Buddha.
Kelompok etnik terdekat: Suku Bali dan penghuni pulau Sumbawa.
Kampung adat Sade
Suku Sasak adalah sukubangsa yang mendiami pulau Lombok dan menggunakan bahasa Sasak. Sebagian besar suku Sasak beragama Islam, uniknya pada sebagian kecil masyarakat suku Sasak, terdapat praktik agama Islam yang agak berbeda dengan Islam pada umumnya yakni Islam Wetu Telu, namun hanya berjumlah sekitar 1% yang melakukan praktek ibadah seperti itu. Ada pula sedikit warga suku Sasak yang menganut kepercayaan pra-Islam yang disebut dengan nama "sasak Boda".
Asal Nama
Asal nama sasak kemungkinan berasal dari kata sak-sak yang artinya sampan. Dalam Kitab Negara Kertagama kata Sasak disebut menjadi satu dengan Pulau Lombok. Yakni Lombok Sasak Mirah Adhi. Dalam tradisi lisan warga setempat kata sasak dipercaya berasal dari kata "sa'-saq" yang artinya yang satu. Kemudian Lombok berasal dari kata Lomboq yang artinya lurus. Maka jika digabung kata Sa' Saq Lomboq artinya sesuatu yang lurus. banyak juga yang menerjemahkannya sebagai jalan yang lurus. Lombo Mirah Sasak Adi adalah salah satu kutipan dari kakawin Nagarakretagama ( Desawarnana ), sebuah kitab yang mnemuat tentang kekuasaan dan kepemerintahaan kerajaan Majapahit, gubanan Mpu Prapanca. kata "lombok" dalam bahasa kawi berarti lurus atao jujur, "Mirah" berarti permata, "sasak" berarti kenyataan dan "adi" artinya yang baik atau yang utama. Maka Lombok Mirah Sasak Adi berarti kejujuran adalah permata kenyataan yang baik atau utama.
Adat
Adat istiadat suku sasak dapat anda saksikan pada saat resepsi perkawinan, dimana perempuan apabila mereka mau dinikahkan oleh seorang lelaki maka yang perempuan harus dilarikan dulu kerumah keluarganya dari pihak laki laki, ini yang dikenal dengan sebutan merarik atau selarian. Sehari setelah dilarikan maka akan diutus salah seorang untuk memberitahukan kepada pihak keluarga perempuan bahwa anaknya akan dinikahkan oleh seseorang, ini yang disebut dengan mesejati atau semacam pemberitahuan kepada keluarga perempuan. Setalah selesai makan akan diadakan yang disebut dengan nyelabar atau kesepakatan mengenai biaya resepsi.
Adat Perkawinan Suku Sasak di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat
Sistem perkawinan yang dianut oleh suku Sasak lebih mengarah ke sistem indogami. Bahkan di beberapa tempat, terutama pada masa lampau, sistem indogami dilaksanakan secara ketat yang kemudian melahirkan kawin paksa dan pengusiran (istilah sasaknya bolang) terhadap “terutama” anak gadis. Walaupun kecenderungannya indogami namun sistem eksogami tidak diharamkan oleh adat.
Namun perlu dicatat bahwa adat perkawinan suku sasak, kalau boleh saya katakan, telah mengalami distorsi disana sini. Hal ini akibat serbuan nilai-nilai baru, baik yang berasal dari agama Islam maupun dari nilai-nilai barat. Walau demikian adat ini bukan berarti hilang, ia masih bisa ditemukan di daerah-daerah yang masih kuat menjalankan adat istiadatnya. Sebaliknya di daerah-daerah yang religius dan modern berlakunya adat itu hanya sekedar formalitas belaka.
Sebenarnya terdapat tiga sistem perkawinan Adat Sasak, yakni:
1. Perondongan
2. Mepadik Lamar (melamar)
3. Merarik atau Selarian (kawin lari)
1. Perondongan (Perjodohan)
Perjodohan merupakan salah satu bentuk perkawinan yang sering dilakukan oleh masyarakat adat Sasak di masa lampau. Paling tidak ada 3 (tiga) alasan orang tua melakukan perjodohan pada anak-anak mereka, yakni (1) untuk memurnikan keturunan dari sebuah keluarga, biasanya keluarga keturunan bangsawan tidak mau darahnya bercampur dengan darah orang lain yang bukan bangsawan atau terutama dari status sosialnya lebih rendah, (2)untuk melanggengkan hubungan persahabatan antar kedua orang tua mempelai, dan yang ke (3) karena alasan-alasan tertentu, diantaranya adalah akibat kesewenang-wenangan rezim kolonial, dalam hal ini kolonial Jepang di Lombok.
Semasa pendudukan Jepang seringkali tentara Jepang mengambil gadis-gadis lokal secara paksa untuk dijadikan gundik. Yang mereka ambil adalah perempuan yang belum memiliki suami atau perempuan yang belum memiliki ikatan perjodohan. Karena itu masyarakat melakukan langkah preventif dengan cara menjodohkan anak-anak perempuannya sejak masa kanak-kanak. Perkawinan ini kemudian dikenal dengan nama “kawin tadong”. Kalau sudah mendapatkan status perkawinan otomatis tentara Jepang tidak akan mengambilnya.
Alasan yang pertama dan kedua adalah alasan yang paling banyak ditemukan karena itu biasanya perjodohan dilakukan di dalam garis kekerabatan (keluarga), misalnya antar sepupu, yang dalam bahasa sasak disebut pisak (baca pisa’).
Perjodohan dimulai ketika masih dalam usia kanak-kanak atau sering juga terjadi setelah mulai dewasa, yang dilakukan berdasarkan kesepakatan orang tua semata.
Dalam perjodohan ini terdapat tiga cara yang digunakan, yakni:
a. Setelah adanya kesepakatan antar orang tua diadakanlah upacara pernikahan layaknya upacara pernikahan orang dewasa, namun sekalipun mereka telah berstatus sebagai suami isteri mereka dilarang hidup bersama sebagai suami isteri. Tempat tinggal mereka dipisahkan dan tetap tinggal bersama orang tua masing-masing. Mereka akan dinikahkan dalam arti yang sebenarnya kelak setelah memasuki usia dewasa (aqil baliq). Jadi dengan pernikahan dini tersebut sesungguhnya anak-anak telah terikat dalam sebuah tali perkawinan
b. Anak-anak tidak dinikahkan akan tetapi hanya cukup dengan pertunangan. Esensinya sama dengan cara di atas, bahwa kelak setelah dewasa anak-anak tersebut akan dikawinkan dengan perkawinan yang sesungguhnya.
c. Anak-anak tidak dinikahkan juga tidak dilakukan pertunangan, akan tetapi cukup diumumkan di publik bahwa anak mereka telah dijodohkan. Anak-anak tersebut baru akan diberitahukan setelah mereka dianggap dewasa.
Jika kelak anak yang telah dikawinkan/jodohkan ini menolak melanjutkan perkawinannya, orang tua akan memaksa anak-anaknya untuk tetap melanjutkan perkawinan itu, hal kemudian menimbulkan tradisi kawin paksa. Akan tetapi jika si anak tetap menolak maka orang tua akan melakukan pengusiran ke desa tertentu. Pengusiran ini kemudian disebut “bolang” = buang.
Untuk itu mekanisme pemingitan yang merupakan pelarangan terhadap terutama kepada anak perempuan yang telah dijodohkan atau yang telah dikawin tadong untuk keluar dari rumah. Mekanisme ini kemudian melahirkan tradisi pingit. Dalam perkembangan selanjutnya sistem pingit ini berlaku untuk seluruh anak gadis, baik yg telah berjodoh maupn yang tidak dengan berbagai alasan.
Alasan pemingitan adalah (1) Agar tidak dilarikan oleh laki-laki lain, (2). Menghindari terjadinya kasus-kasus asusila pada si gadis yang nantinya akan membawa aib keluarga, Jadi tujuan utamanya adalah melindungi kaum peremouan.
2. Kawin Lamar (Mepadik Lamar)
Sistem ini tidak jauh beda dengan sistem lamar yang berlaku di tempat lain, bahwa setelah calon mempelai bersepakat melakukan pernikahan, calon mempelai laki-laki akan memberitahukan orang tuanya dan meminta dilamarkan ke orang tua si gadis. Cara melamar ini dalam prakteknya sering sekali memerlukan waktu yang panjang, ribet dan berliku-liku, sehingga sering sekali membuat rasa jenuh dan jengkel bagi sepasang kekasih, yang bahkan tidak jarang berakhir dengan kegagalan. Karena itu cara ini sangat tidak populer. Akan di masyarakat yang taat beragama dan atau di masyarakat perkotaan sistem ini justeru lebih populer.
3. Merarik (Selarian)
Sistem ini adalah yang paling populer, sekalipun mengandung bahaya namun cara ini adalah cara yang umum dipergunakan oleh masyarakat Sasak sampai sekarang.
Merarik adalah sebuah langkah awal dari suatu proses perkawinan yang panjang. Merarik sering dikonotasikan dengan mencuri gadis (perempuan) dalam arti melarikan perempuan untuk dijadikan isteri oleh laki-laki. Jadi perbuatan mencuri gadis bukan kejahatan
Filosofinya menurut pengertian yang umum diketahui, merarik dalam persepsi masyarakat Sasak merupakan suatu bentuk “penghormatan” kepada kaum perempuan. Bagi mereka, perempuan tidak bisa disamakan dengan benda yang bisa di tawar-tawar atau diminta. Dikatakan bahwa dengan melarikan gadis pihak laki-laki ingin menunjukkan keberanian dan kesetiaannya sebagai calon suami yang siap mempertaruhkan nyawanya demi sang calon isteri.
Saat ini kata merarik secara praktis sudah menjadi “istilah” yang artinya sama dengan “kawin”, tidak peduli dilakukan dengan cara kawin lari atau melamar.
Asal Nama
Asal nama sasak kemungkinan berasal dari kata sak-sak yang artinya sampan. Dalam Kitab Negara Kertagama kata Sasak disebut menjadi satu dengan Pulau Lombok. Yakni Lombok Sasak Mirah Adhi. Dalam tradisi lisan warga setempat kata sasak dipercaya berasal dari kata "sa'-saq" yang artinya yang satu. Kemudian Lombok berasal dari kata Lomboq yang artinya lurus. Maka jika digabung kata Sa' Saq Lomboq artinya sesuatu yang lurus. banyak juga yang menerjemahkannya sebagai jalan yang lurus. Lombo Mirah Sasak Adi adalah salah satu kutipan dari kakawin Nagarakretagama ( Desawarnana ), sebuah kitab yang mnemuat tentang kekuasaan dan kepemerintahaan kerajaan Majapahit, gubanan Mpu Prapanca. kata "lombok" dalam bahasa kawi berarti lurus atao jujur, "Mirah" berarti permata, "sasak" berarti kenyataan dan "adi" artinya yang baik atau yang utama. Maka Lombok Mirah Sasak Adi berarti kejujuran adalah permata kenyataan yang baik atau utama.
Adat
Adat istiadat suku sasak dapat anda saksikan pada saat resepsi perkawinan, dimana perempuan apabila mereka mau dinikahkan oleh seorang lelaki maka yang perempuan harus dilarikan dulu kerumah keluarganya dari pihak laki laki, ini yang dikenal dengan sebutan merarik atau selarian. Sehari setelah dilarikan maka akan diutus salah seorang untuk memberitahukan kepada pihak keluarga perempuan bahwa anaknya akan dinikahkan oleh seseorang, ini yang disebut dengan mesejati atau semacam pemberitahuan kepada keluarga perempuan. Setalah selesai makan akan diadakan yang disebut dengan nyelabar atau kesepakatan mengenai biaya resepsi.
Adat Perkawinan Suku Sasak di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat
Sistem perkawinan yang dianut oleh suku Sasak lebih mengarah ke sistem indogami. Bahkan di beberapa tempat, terutama pada masa lampau, sistem indogami dilaksanakan secara ketat yang kemudian melahirkan kawin paksa dan pengusiran (istilah sasaknya bolang) terhadap “terutama” anak gadis. Walaupun kecenderungannya indogami namun sistem eksogami tidak diharamkan oleh adat.
Namun perlu dicatat bahwa adat perkawinan suku sasak, kalau boleh saya katakan, telah mengalami distorsi disana sini. Hal ini akibat serbuan nilai-nilai baru, baik yang berasal dari agama Islam maupun dari nilai-nilai barat. Walau demikian adat ini bukan berarti hilang, ia masih bisa ditemukan di daerah-daerah yang masih kuat menjalankan adat istiadatnya. Sebaliknya di daerah-daerah yang religius dan modern berlakunya adat itu hanya sekedar formalitas belaka.
Sebenarnya terdapat tiga sistem perkawinan Adat Sasak, yakni:
1. Perondongan
2. Mepadik Lamar (melamar)
3. Merarik atau Selarian (kawin lari)
1. Perondongan (Perjodohan)
Perjodohan merupakan salah satu bentuk perkawinan yang sering dilakukan oleh masyarakat adat Sasak di masa lampau. Paling tidak ada 3 (tiga) alasan orang tua melakukan perjodohan pada anak-anak mereka, yakni (1) untuk memurnikan keturunan dari sebuah keluarga, biasanya keluarga keturunan bangsawan tidak mau darahnya bercampur dengan darah orang lain yang bukan bangsawan atau terutama dari status sosialnya lebih rendah, (2)untuk melanggengkan hubungan persahabatan antar kedua orang tua mempelai, dan yang ke (3) karena alasan-alasan tertentu, diantaranya adalah akibat kesewenang-wenangan rezim kolonial, dalam hal ini kolonial Jepang di Lombok.
Semasa pendudukan Jepang seringkali tentara Jepang mengambil gadis-gadis lokal secara paksa untuk dijadikan gundik. Yang mereka ambil adalah perempuan yang belum memiliki suami atau perempuan yang belum memiliki ikatan perjodohan. Karena itu masyarakat melakukan langkah preventif dengan cara menjodohkan anak-anak perempuannya sejak masa kanak-kanak. Perkawinan ini kemudian dikenal dengan nama “kawin tadong”. Kalau sudah mendapatkan status perkawinan otomatis tentara Jepang tidak akan mengambilnya.
Alasan yang pertama dan kedua adalah alasan yang paling banyak ditemukan karena itu biasanya perjodohan dilakukan di dalam garis kekerabatan (keluarga), misalnya antar sepupu, yang dalam bahasa sasak disebut pisak (baca pisa’).
Perjodohan dimulai ketika masih dalam usia kanak-kanak atau sering juga terjadi setelah mulai dewasa, yang dilakukan berdasarkan kesepakatan orang tua semata.
Dalam perjodohan ini terdapat tiga cara yang digunakan, yakni:
a. Setelah adanya kesepakatan antar orang tua diadakanlah upacara pernikahan layaknya upacara pernikahan orang dewasa, namun sekalipun mereka telah berstatus sebagai suami isteri mereka dilarang hidup bersama sebagai suami isteri. Tempat tinggal mereka dipisahkan dan tetap tinggal bersama orang tua masing-masing. Mereka akan dinikahkan dalam arti yang sebenarnya kelak setelah memasuki usia dewasa (aqil baliq). Jadi dengan pernikahan dini tersebut sesungguhnya anak-anak telah terikat dalam sebuah tali perkawinan
b. Anak-anak tidak dinikahkan akan tetapi hanya cukup dengan pertunangan. Esensinya sama dengan cara di atas, bahwa kelak setelah dewasa anak-anak tersebut akan dikawinkan dengan perkawinan yang sesungguhnya.
c. Anak-anak tidak dinikahkan juga tidak dilakukan pertunangan, akan tetapi cukup diumumkan di publik bahwa anak mereka telah dijodohkan. Anak-anak tersebut baru akan diberitahukan setelah mereka dianggap dewasa.
Jika kelak anak yang telah dikawinkan/jodohkan ini menolak melanjutkan perkawinannya, orang tua akan memaksa anak-anaknya untuk tetap melanjutkan perkawinan itu, hal kemudian menimbulkan tradisi kawin paksa. Akan tetapi jika si anak tetap menolak maka orang tua akan melakukan pengusiran ke desa tertentu. Pengusiran ini kemudian disebut “bolang” = buang.
Untuk itu mekanisme pemingitan yang merupakan pelarangan terhadap terutama kepada anak perempuan yang telah dijodohkan atau yang telah dikawin tadong untuk keluar dari rumah. Mekanisme ini kemudian melahirkan tradisi pingit. Dalam perkembangan selanjutnya sistem pingit ini berlaku untuk seluruh anak gadis, baik yg telah berjodoh maupn yang tidak dengan berbagai alasan.
Alasan pemingitan adalah (1) Agar tidak dilarikan oleh laki-laki lain, (2). Menghindari terjadinya kasus-kasus asusila pada si gadis yang nantinya akan membawa aib keluarga, Jadi tujuan utamanya adalah melindungi kaum peremouan.
2. Kawin Lamar (Mepadik Lamar)
Sistem ini tidak jauh beda dengan sistem lamar yang berlaku di tempat lain, bahwa setelah calon mempelai bersepakat melakukan pernikahan, calon mempelai laki-laki akan memberitahukan orang tuanya dan meminta dilamarkan ke orang tua si gadis. Cara melamar ini dalam prakteknya sering sekali memerlukan waktu yang panjang, ribet dan berliku-liku, sehingga sering sekali membuat rasa jenuh dan jengkel bagi sepasang kekasih, yang bahkan tidak jarang berakhir dengan kegagalan. Karena itu cara ini sangat tidak populer. Akan di masyarakat yang taat beragama dan atau di masyarakat perkotaan sistem ini justeru lebih populer.
3. Merarik (Selarian)
Sistem ini adalah yang paling populer, sekalipun mengandung bahaya namun cara ini adalah cara yang umum dipergunakan oleh masyarakat Sasak sampai sekarang.
Merarik adalah sebuah langkah awal dari suatu proses perkawinan yang panjang. Merarik sering dikonotasikan dengan mencuri gadis (perempuan) dalam arti melarikan perempuan untuk dijadikan isteri oleh laki-laki. Jadi perbuatan mencuri gadis bukan kejahatan
Filosofinya menurut pengertian yang umum diketahui, merarik dalam persepsi masyarakat Sasak merupakan suatu bentuk “penghormatan” kepada kaum perempuan. Bagi mereka, perempuan tidak bisa disamakan dengan benda yang bisa di tawar-tawar atau diminta. Dikatakan bahwa dengan melarikan gadis pihak laki-laki ingin menunjukkan keberanian dan kesetiaannya sebagai calon suami yang siap mempertaruhkan nyawanya demi sang calon isteri.
Saat ini kata merarik secara praktis sudah menjadi “istilah” yang artinya sama dengan “kawin”, tidak peduli dilakukan dengan cara kawin lari atau melamar.
Casino Games - DrmD
BalasHapusVisit our casino games page and find out more 포항 출장마사지 about 상주 출장마사지 the game 이천 출장샵 providers, games and services that come 문경 출장샵 with the games they provide. This page will show you everything you need to know 충청남도 출장마사지