Minggu, 19 Mei 2013

Anggota Kelompok

!. Muhammad Anis (XI-IPS3/16) (18696)
2. Muhammad Jhoni A. (XI-IPS3/18) (18421)
3. Riko Jaya M. (XI-IPS3/24) (18657)
4. Rizal Galang (XI-IPS3/26) (18619)
5. Setyo Oscar Riyanto (XI-IPS3/28) (18430)
6. Yusuf Agung (XI-IPS3/32) (18464)

Minggu, 12 Mei 2013

Suku Bali



Suku Bali adalah masyarakat yang mendiami pulau Bali yang merupakan sebuah provinsi (Provinsi Bali). Pulau yang dikenal sebaga Pulau Dewata ini berada di timur Pulau Jawa. Dahulu kala ada sebua kerajaan yang menguasai seluruh pulau ini dan mengembangkan Kebudayaan Hndu yang melekat hngga sekarang
a. Sistem Kepercayaan/Religi Suku Bali

Masyarakat Bali sebagian besar menganut agama Hindu- Bali. Mereka percaya adanya satu Tuhan dengan konsep Trimurti yang terdiri atas tiga wujud, yaitu:
  1. Brahmana : menciptakan;
  2. Wisnu : yang memelihara;
  3. Siwa : yang merusak.
Selain itu hal-hal yang mereka anggap penting adalah sebagai berikut.
  1. Atman : roh yang abadi.
  2. Karmapala : buah dari setiap perbuatan.
  3. Purnabawa : kelahiran kembali jiwa.
Tempat ibadah agama Hindu disebut pura. Pura memiliki sifat berbeda, sebagai berikut:
  1. Pura Besakih: sifatnya umum untuk semua golongan.
  2. Pura Desa (kayangan tiga): khusus untuk kelompok sosial setempat.
  3. Sanggah: khusus untuk leluhur.

Gambar 1. Pura Besakih merupakan salah satu pura di Bali. Pura ini selain untuk tempat ibadah, juga dijadikan tempat pariwisata.
Di Bali terdapat beribu-ribu pura dan sanggah. Masing-masing pura dan sanggah memiliki tanggal perayaan yang berbeda-beda, yaitu sebagai berikut.




1) Tanggalan Hindu–Bali

Tanggalan Hindu–Bali terdiri atas 12 bulan yang lamanya 355 hari. Sistem perhitungan dengan sistem Hindu disebut Syuklapaksa. Tahun baru Saka (Nyepi) jatuh pada tanggal satu bulan kesepuluh.

2) Tanggalan Jawa–Bali

Tanggalan Jawa–Bali terdiri atas 30 wuku. Tiap wuku terdiri atas tujuh hari. Perayaan yang didasarkan atas perhitungan penanggalan Jawa-Bali misalnya hari raya Galungan dan Kuningan. Selain itu juga digunakan untuk upacara-upacara sebagai berikut.

a) Manusia yadnya, adalah upacara siklus hidup masa anak-anak sampai dewasa.
b) Dewa yadnya, adalah upacara pada kuil-kuil umum dan keluarga.
c) Resi yadnya, adalah upacara pentahbisan pendeta (mediksa).
d) Buta yadnya, adalah upacara untuk kala dan buta yaitu roh-roh penunggu.

b. Sistem Kekerabatan Suku Bali

Dulu perkawinan di Bali ditentukan oleh kasta. Wanita dari kasta tinggi tidak boleh kawin dengan laki-laki kasta rendah, tetapi sekarang hal itu tidak berlaku lagi. Perkawinan yang dianggap pantang adalah perkawinan saudara perempuan suami dengan saudara laki-laki istri (mak dengan ngad). Hal itu akan menimbulkan bencana (panes).

Cara memperoleh istri berdasarkan adat ada dua, yaitu:
  1. memadik, ngindih: dengan cara meminang keluarga gadis;
  2. mrangkat, ngrorod: dengan cara melarikan seorang gadis.
c. Sistem Politik Suku Bali

Desa-desa di Bali dibuat berdasarkan kesatuan tempat. Desa-desa di daerah pegunungan mempunyai pola perkampungan memusat (banjar) yang dikepalai oleh khan boncor (khong). Selain itu di Bali juga dikenal kuil desa yang disebut kayangan tiga. Kesatuan organisasi lain yaitu subak dan seka. Subak merupakan organisasi irigasi yang mempunyai kepala sendiri. Seka merupakan suatu organisasi yang bergerak dalam lapangan kehidupan khusus. Seka berfungsi menyelenggarakan upacara-upacara desa seperti: seka baris, seka truna, dan seka gong.

d. Sistem Ekonomi Suku Bali

Sebagian besar masyarakat Bali memiliki mata pencaharian sebagai petani. Selain padi, pertanian yang lain yaitu palawija, kopi, dan kelapa. Peternakan di Bali juga maju, yaitu ternak babi dan sapi. Selain itu juga dikembangkan peternakan kambing, kerbau, dan kuda.
  1. Perikanan: dikembangkan perikanan darat dan laut, perikanan laut terdapat di pinggir pantai. Para nelayan menggunakan jangkung (perahu penangkap ikan) untuk mencari ikan tongkol, udang, dan cumi-cumi.
  2. Di Bali juga banyak terdapat industri kerajinan, kerajinan yang dibuat meliputi: benda-benda anyaman, kain tenun, pabrik rokok, dan tekstil. Selain itu juga banyak perusahaan yang menjual jasa, seperti biro perjalanan, hotel, rumah makan, taksi, dan toko kesenian. Tempat usaha terbesar terdapat di Gianyar, Denpasar, dan Tabanan.
e. Sistem Kesenian Suku Bali

1) Seni Bangunan
Seni bangunan nampak pada bangunan candi yang banyak terdapat di Bali, seperti Gapura Candi Bentar.
2) Seni Tari
Tari tradisional Bali antara lain tari sanghyang, tari barong, tari kecak, dan tari gambuh. Tari modern antara lain tari tenun, tari nelayan, tari legong, dan tari janger.



Gambar 2. Rahwana dalam tarian kecak epos Ramayana menculik Sita dengan berubah wujud menjadi seorang kakek tua. (Foto : detik.com)

3) Pakaian daerah

Pakaian daerah Bali sangat bervariasi, meskipun bentuknya hampir sama. Masing-masing daerah memiliki ciri khas simbolik dan ornamen yang didasarkan kepada kegiatan/upacara, jenis kelamin dan umur penggunanya. Status sosial dari seseorang juga dapat diketahui berdasarkan corakbusana dan ornamen perhiasan yang dipakai
Busana tradisional pria umumnya terdiri dari:
a. Udeng (ikat kepala)
b. Kain kampuh
c. Umpal (selendang pengikat)
d. Kain wastra (kemben)
e. Sabuk
f. Keris
g.  Beragam ornamen perhiasan
Sering pula dikenakan baju kemeja, jas dan alas kaki sebagai pelengkap.
Busana tradisional wanita umumnya terdiri dari:
a.  Gelung (sanggul)
b. Sesenteng (kemben songket)
c. Kain wastra
d. Sabuk prada (stagen), membelit pinggul dan dada
e. Selendang songket bahu ke bawah
f. Kain tapih atau sinjang, di sebelah dalam
g.  Beragam ornamen perhiasan
Sering pula dikenakan kebaya, kain penutup dada, dan alas kaki sebagai pelengkap.

4) Rumah Adat 

Rumah Bali yang sesuai dengan aturan Asta Kosala Kosali (bagian Weda yang mengatur tata letak ruangan dan bangunan, layaknya Feng Shui dalam Budaya China)
Menurut filosofi masyarakat Bali, kedinamisan dalam hidup akan tercapai apabila terwujudnya hubungan yang harmonis antara aspek pawongan, palemahan dan parahyangan. Untuk itu pembangunan sebuah rumah harus meliputi aspek-aspek tersebut atau yang biasa disebut Tri Hita Karana. Pawongan merupakan para penghuni rumah. Palemahan berarti harus ada hubungan yang baik antara penghuni rumah dan lingkungannya.
Pada umumnya bangunan atau arsitektur tradisional daerah Bali selalu dipenuhi hiasan, berupa ukiran, peralatan serta pemberian warna. Ragam hias tersebut mengandung arti tertentu sebagai ungkapan keindahan simbol-simbol dan penyampaian komunikasi. Bentuk-bentuk ragam hias dari jenis fauna juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual yang ditampilkan dalam patung.

5) Bahasa 

Bali sebagian besar menggunakan bahasa Bali dan bahasa Indonesia, sebagian besar masyarakat Bali adalah bilingual atau bahkan trilingual. Bahasa Inggris adalah bahasa ketiga dan bahasa asing utama bagi masyarakat Bali yang dipengaruhi oleh kebutuhan industri pariwisata. Bahasa Bali di bagi menjadi 2 yaitu, bahasa Aga yaitu bahasa Bali yang pengucapannya lebih kasar, dan bahasa Bali Mojopahit yaitu bahasa yang pengucapannya lebih halus.

Minggu, 05 Mei 2013

Suku Sasak

Jumlah populasi: kurang lebih 3 juta.

Kawasan dengan populasi yang signifikan

Lombok: 2,5 juta.

Bahasa: Bahasa Sasak dan bahasa Indonesia.

Agama: Islam, Islam Wetu Telu dan sebuah minoritas kecil Hindu-Buddha.

Kelompok etnik terdekat: Suku Bali dan penghuni pulau Sumbawa.


Kampung adat Sade

Suku Sasak adalah sukubangsa yang mendiami pulau Lombok dan menggunakan bahasa Sasak. Sebagian besar suku Sasak beragama Islam, uniknya pada sebagian kecil masyarakat suku Sasak, terdapat praktik agama Islam yang agak berbeda dengan Islam pada umumnya yakni Islam Wetu Telu, namun hanya berjumlah sekitar 1% yang melakukan praktek ibadah seperti itu. Ada pula sedikit warga suku Sasak yang menganut kepercayaan pra-Islam yang disebut dengan nama "sasak Boda".

Asal Nama

Asal nama sasak kemungkinan berasal dari kata sak-sak yang artinya sampan. Dalam Kitab Negara Kertagama kata Sasak disebut menjadi satu dengan Pulau Lombok. Yakni Lombok Sasak Mirah Adhi. Dalam tradisi lisan warga setempat kata sasak dipercaya berasal dari kata "sa'-saq" yang artinya yang satu. Kemudian Lombok berasal dari kata Lomboq yang artinya lurus. Maka jika digabung kata Sa' Saq Lomboq artinya sesuatu yang lurus. banyak juga yang menerjemahkannya sebagai jalan yang lurus. Lombo Mirah Sasak Adi adalah salah satu kutipan dari kakawin Nagarakretagama ( Desawarnana ), sebuah kitab yang mnemuat tentang kekuasaan dan kepemerintahaan kerajaan Majapahit, gubanan Mpu Prapanca. kata "lombok" dalam bahasa kawi berarti lurus atao jujur, "Mirah" berarti permata, "sasak" berarti kenyataan dan "adi" artinya yang baik atau yang utama. Maka Lombok Mirah Sasak Adi berarti kejujuran adalah permata kenyataan yang baik atau utama.

Adat

Adat istiadat suku sasak dapat anda saksikan pada saat resepsi perkawinan, dimana perempuan apabila mereka mau dinikahkan oleh seorang lelaki maka yang perempuan harus dilarikan dulu kerumah keluarganya dari pihak laki laki, ini yang dikenal dengan sebutan merarik atau selarian. Sehari setelah dilarikan maka akan diutus salah seorang untuk memberitahukan kepada pihak keluarga perempuan bahwa anaknya akan dinikahkan oleh seseorang, ini yang disebut dengan mesejati atau semacam pemberitahuan kepada keluarga perempuan. Setalah selesai makan akan diadakan yang disebut dengan nyelabar atau kesepakatan mengenai biaya resepsi.

Adat Perkawinan Suku Sasak di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat

Sistem perkawinan yang dianut oleh suku Sasak lebih mengarah ke sistem indogami. Bahkan di beberapa tempat, terutama pada masa lampau, sistem indogami dilaksanakan secara ketat yang kemudian melahirkan kawin paksa dan pengusiran (istilah sasaknya bolang) terhadap “terutama” anak gadis. Walaupun kecenderungannya indogami namun sistem eksogami tidak diharamkan oleh adat.

Namun perlu dicatat bahwa adat perkawinan suku sasak, kalau boleh saya katakan, telah mengalami distorsi disana sini. Hal ini akibat serbuan nilai-nilai baru, baik yang berasal dari agama Islam maupun dari nilai-nilai barat. Walau demikian adat ini bukan berarti hilang, ia masih bisa ditemukan di daerah-daerah yang masih kuat menjalankan adat istiadatnya. Sebaliknya di daerah-daerah yang religius dan modern berlakunya adat itu hanya sekedar formalitas belaka.

Sebenarnya terdapat tiga sistem perkawinan Adat Sasak, yakni:

1. Perondongan

2. Mepadik Lamar (melamar)

3. Merarik atau Selarian (kawin lari)

1. Perondongan (Perjodohan)

Perjodohan merupakan salah satu bentuk perkawinan yang sering dilakukan oleh masyarakat adat Sasak di masa lampau. Paling tidak ada 3 (tiga) alasan orang tua melakukan perjodohan pada anak-anak mereka, yakni (1) untuk memurnikan keturunan dari sebuah keluarga, biasanya keluarga keturunan bangsawan tidak mau darahnya bercampur dengan darah orang lain yang bukan bangsawan atau terutama dari status sosialnya lebih rendah, (2)untuk melanggengkan hubungan persahabatan antar kedua orang tua mempelai, dan yang ke (3) karena alasan-alasan tertentu, diantaranya adalah akibat kesewenang-wenangan rezim kolonial, dalam hal ini kolonial Jepang di Lombok.
Semasa pendudukan Jepang seringkali tentara Jepang mengambil gadis-gadis lokal secara paksa untuk dijadikan gundik. Yang mereka ambil adalah perempuan yang belum memiliki suami atau perempuan yang belum memiliki ikatan perjodohan. Karena itu masyarakat melakukan langkah preventif dengan cara menjodohkan anak-anak perempuannya sejak masa kanak-kanak. Perkawinan ini kemudian dikenal dengan nama “kawin tadong”. Kalau sudah mendapatkan status perkawinan otomatis tentara Jepang tidak akan mengambilnya.

Alasan yang pertama dan kedua adalah alasan yang paling banyak ditemukan karena itu biasanya perjodohan dilakukan di dalam garis kekerabatan (keluarga), misalnya antar sepupu, yang dalam bahasa sasak disebut pisak (baca pisa’).
Perjodohan dimulai ketika masih dalam usia kanak-kanak atau sering juga terjadi setelah mulai dewasa, yang dilakukan berdasarkan kesepakatan orang tua semata.
Dalam perjodohan ini terdapat tiga cara yang digunakan, yakni:

a. Setelah adanya kesepakatan antar orang tua diadakanlah upacara pernikahan layaknya upacara pernikahan orang dewasa, namun sekalipun mereka telah berstatus sebagai suami isteri mereka dilarang hidup bersama sebagai suami isteri. Tempat tinggal mereka dipisahkan dan tetap tinggal bersama orang tua masing-masing. Mereka akan dinikahkan dalam arti yang sebenarnya kelak setelah memasuki usia dewasa (aqil baliq). Jadi dengan pernikahan dini tersebut sesungguhnya anak-anak telah terikat dalam sebuah tali perkawinan

b. Anak-anak tidak dinikahkan akan tetapi hanya cukup dengan pertunangan. Esensinya sama dengan cara di atas, bahwa kelak setelah dewasa anak-anak tersebut akan dikawinkan dengan perkawinan yang sesungguhnya.

c. Anak-anak tidak dinikahkan juga tidak dilakukan pertunangan, akan tetapi cukup diumumkan di publik bahwa anak mereka telah dijodohkan. Anak-anak tersebut baru akan diberitahukan setelah mereka dianggap dewasa.

Jika kelak anak yang telah dikawinkan/jodohkan ini menolak melanjutkan perkawinannya, orang tua akan memaksa anak-anaknya untuk tetap melanjutkan perkawinan itu, hal kemudian menimbulkan tradisi kawin paksa. Akan tetapi jika si anak tetap menolak maka orang tua akan melakukan pengusiran ke desa tertentu. Pengusiran ini kemudian disebut “bolang” = buang.

Untuk itu mekanisme pemingitan yang merupakan pelarangan terhadap terutama kepada anak perempuan yang telah dijodohkan atau yang telah dikawin tadong untuk keluar dari rumah. Mekanisme ini kemudian melahirkan tradisi pingit. Dalam perkembangan selanjutnya sistem pingit ini berlaku untuk seluruh anak gadis, baik yg telah berjodoh maupn yang tidak dengan berbagai alasan.
Alasan pemingitan adalah (1) Agar tidak dilarikan oleh laki-laki lain, (2). Menghindari terjadinya kasus-kasus asusila pada si gadis yang nantinya akan membawa aib keluarga, Jadi tujuan utamanya adalah melindungi kaum peremouan.

2. Kawin Lamar (Mepadik Lamar)

Sistem ini tidak jauh beda dengan sistem lamar yang berlaku di tempat lain, bahwa setelah calon mempelai bersepakat melakukan pernikahan, calon mempelai laki-laki akan memberitahukan orang tuanya dan meminta dilamarkan ke orang tua si gadis. Cara melamar ini dalam prakteknya sering sekali memerlukan waktu yang panjang, ribet dan berliku-liku, sehingga sering sekali membuat rasa jenuh dan jengkel bagi sepasang kekasih, yang bahkan tidak jarang berakhir dengan kegagalan. Karena itu cara ini sangat tidak populer. Akan di masyarakat yang taat beragama dan atau di masyarakat perkotaan sistem ini justeru lebih populer.

3. Merarik (Selarian)

Sistem ini adalah yang paling populer, sekalipun mengandung bahaya namun cara ini adalah cara yang umum dipergunakan oleh masyarakat Sasak sampai sekarang.
Merarik adalah sebuah langkah awal dari suatu proses perkawinan yang panjang. Merarik sering dikonotasikan dengan mencuri gadis (perempuan) dalam arti melarikan perempuan untuk dijadikan isteri oleh laki-laki. Jadi perbuatan mencuri gadis bukan kejahatan
Filosofinya menurut pengertian yang umum diketahui, merarik dalam persepsi masyarakat Sasak merupakan suatu bentuk “penghormatan” kepada kaum perempuan. Bagi mereka, perempuan tidak bisa disamakan dengan benda yang bisa di tawar-tawar atau diminta. Dikatakan bahwa dengan melarikan gadis pihak laki-laki ingin menunjukkan keberanian dan kesetiaannya sebagai calon suami yang siap mempertaruhkan nyawanya demi sang calon isteri.
Saat ini kata merarik secara praktis sudah menjadi “istilah” yang artinya sama dengan “kawin”, tidak peduli dilakukan dengan cara kawin lari atau melamar.

Suku Batak

Jumlah populasI: 6.076.440 jiwa (Sensus 2000)[1]

Kawasan dengan populasi yang signifikan
Sumatera Utara - 4.827.000
Riau - 347.000
Jakarta - 301.000
Jawa Barat - 275.000
Sumatera Barat - 188.000
   
Bahasa
- Toba
- Angkola
- Karo
- Simalungun
- Pakpak
- Mandailing

Agama: Kristen, Islam, Parmalim, Animisme

Kelompok etnik terdekat:
- Suku Alas
- Suku Nias
- Suku Melayu
- Suku Minangkabau
- Suku Bugis
- Suku Dayak
- Suku Rimba
- Suku Gayo
- Suku Singkil
- Suku Aceh

Merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Saat ini pada umumnya orang Batak menganut agama Kristen Protestan, Kristen Katolik, dan Islam Sunni. Tetapi ada pula yang menganut kepercayaan tadisional yakni: tradisi Malim dan juga menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang
Tokoh-tokoh dari suku Batak
Amir Sjarifoeddin, Abdul Haris Nasution, Burhanuddin Harahap, Adnan Buyung Nasution, TB Simatupang, Sitor Situmorang
(dari kiri ke kanan)

.

Sejarah


Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia namun tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu di zaman batu muda (Neolitikum). [2]Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara di zaman logam. Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera[3]. Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal[4]. Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.

Mayoritas orang Batak menganut agama Kristen dan sisanya beragama Islam. Tetapi ada pula yang menganut agama Malim dan juga menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.

Identitas Batak

R.W Liddle mengatakan, bahwa sebelum abad ke-20 di Sumatra bagian utara tidak terdapat kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren. Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi sosial di daerah itu hanya terbatas pada hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan, atau antar kampung. Dan hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari satuan-satuan sosial dan politik yang lebih besar.[5] Pendapat lain mengemukakan, bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah keluarga besar Batak baru terjadi pada zaman kolonial.[6] Dalam disertasinya J. Pardede mengemukakan bahwa istilah "Tanah Batak" dan "rakyat Batak" diciptakan oleh pihak asing. Sebaliknya, Siti Omas Manurung, seorang istri dari putra pendeta Batak Toba menyatakan, bahwa sebelum kedatangan Belanda, semua orang baik Karo maupun Simalungun mengakui dirinya sebagai Batak, dan Belandalah yang telah membuat terpisahnya kelompok-kelompok tersebut. Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan, bahwa Pusuk Buhit, salah satu puncak di barat Danau Toba, adalah tempat "kelahiran" bangsa Batak. Selain itu mitos-mitos tersebut juga menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak berasal dari Samosir.

Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga, sebagian disebabkan karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra. Penelitian penting tentang tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan transkripsi dua naskah setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting. Menurut Pustaka Kembaren, daerah asal marga Kembaren dari Pagaruyung di Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang diturunkan dari Bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke pedalaman Sumatera akibat serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad ke-14 untuk menguasai Barus.

Penyebaran Agama

Masuknya Islam

Dalam kunjungannya pada tahun 1292, Marco Polo melaporkan bahwa masyarakat Batak sebagai orang-orang "liar" dan tidak pernah terpengaruh oleh agama-agama dari luar. Meskipun Ibn Battuta, mengunjungi Sumatera Utara pada tahun 1345 dan mengislamkan Sultan Al-Malik Al-Dhahir, masyarakat Batak tidak pernah mengenal Islam sebelum disebarkan oleh pedagang Minangkabau. Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak pedagang Minangkabau yang melakukan kawin-mawin dengan perempuan Batak. Hal ini secara perlahan telah meningkatakan pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat Batak. Pada masa Perang Paderi di awal abad ke-19, pasukan Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran atas masyarakat Mandailing dan Angkola. Namun penyerangan Paderi atas wilayah Toba, tidak dapat mengislamkan masyarakat tersebut, yang pada akhirnya mereka menganut agama Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Kerajaan Aceh di utara, juga banyak berperan dalam mengislamkan masyarakat Karo dan Pakpak. Sementara Simalungun banyak terkena pengaruh Islam dari masyarakat Melayu di pesisir Sumatera Timur

Misionaris Kristen

Pada tahun 1824, dua misionaris Baptist asal Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward berjalan kaki dari Sibolga menuju pedalaman Batak. Setelah tiga hari berjalan, mereka sampai di dataran tinggi Silindung dan menetap selama dua minggu di pedalaman. Dari penjelajahan ini, mereka melakukan observasi dan pengamatan langsung atas kehidupan masyarakat Batak. Pada tahun 1834, kegiatan ini diikuti oleh Henry Lyman dan Samuel Munson dari Dewan Komisaris Amerika untuk Misi Luar Negeri.

Pada tahun 1850, Dewan Injil Belanda menugaskan Herman Neubronner van der Tuuk untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak - Belanda. Hal ini bertujuan untuk memudahkan misi-misi kelompok Kristen Belanda dan Jerman berbicara dengan masyarakat Toba dan Simalungun yang menjadi sasaran pengkristenan mereka.

Misionaris pertama asal Jerman tiba di lembah sekitar Danau Toba pada tahun 1861, dan sebuah misi pengkristenan dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr. Ludwig Ingwer Nommensen. Kitab Perjanjian Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan oleh P. H. Johannsen pada tahun 1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan pada tahun 1893. Menurut H. O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah dibaca, agak kaku, dan terdengar aneh dalam bahasa Batak.[13]

Selanjutnya Misi Katolik di Tanah Batak terhitung sejak Pastor Misionaris pertama yakni Pastor Sybrandus van Rossum, OFM.Cap masuk ke jantung Tanah Batak, yakni Balige tanggal 5 Desember 1934.

Masyarakat Toba dan sebagian Karo menyerap agama Kristen dengan cepat, dan pada awal abad ke-20 telah menjadikan Kristen sebagai identitas budaya[14]. Pada masa ini merupakan periode kebangkitan kolonialisme Hindia-Belanda, dimana banyak orang Batak sudah tidak melakukan perlawanan lagi dengan pemerintahan kolonial. Perlawanan secara gerilya yang dilakukan oleh orang-orang Batak Toba berakhir pada tahun 1907, setelah pemimpin kharismatik mereka, Sisingamangaraja XII wafat.[15]

Gereja HKBP

Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) telah berdiri di Balige pada bulan September 1917. Pada akhir tahun 1920-an, sebuah sekolah perawat memberikan pelatihan perawatan kepada bidan-bidan disana. Kemudian pada tahun 1941, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) didirikan.[16]

Gereja Katolik di Tanah Batak    

Misi Katolik masuk ke Tanah Batak setelah Zending Protestan berada di sana selama 73 tahun. Daerah-daerah yang padat penduduknya serta daerah-daerah yang subur sudah menjadi “milik” Protestan. Menurut Sybrandus van Rossum dalam tulisannya berjudul “Matahari Terbit di Balige” bahwa pada tahun 1935 orang Batak yang sudah dibaptis di Protestan mencapai lebih kurang 450.000 orang. Lembaga pendidikan dan kesehatan sudah berada di tangan Zending. Zending juga sudah mempunyai kader-kader yang tangguh baik dalam masyarakat maupun dalam pemerintahan. Dalam situasi seperti itulah Misi Katolik masuk ke Tanah Batak.

Kepercayaan

Sebelum suku Batak Toba menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.

Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak Toba mengenal tiga konsep, yaitu:

    Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
    Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
    Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.

Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha. Walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi, namun orang Batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka.

Salam Khas Batak

Tiap puak Batak memiliki salam khasnya masing masing. Meskipun suku Batak terkenal dengan salam Horasnya, namun masih ada dua salam lagi yang kurang populer di masyarakat yakni Mejuah juah dan Njuah juah. Horas sendiri masih memiliki penyebutan masing masing berdasarkan puak yang menggunakannya

1. Pakpak “Njuah-juah Mo Banta Karina!”

2. Karo “Mejuah-juah Kita Krina!”

3. Toba “Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!”

4. Simalungun “Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona!”

5. Mandailing dan Angkola “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!”

Kekerabatan

Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada.

Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap vs Marga lainnya. Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.

Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan Adat.

Falsafah dan Kemasyarakatan

Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni yang dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu. Berikut penyebutan Dalihan Natolu menurut keenam puak Batak

1. Dalihan Na Tolu (Toba) • Somba Marhula-hula • Manat Mardongan Tubu • Elek Marboru

2. Dalian Na Tolu (Mandailing dan Angkola) • Hormat Marmora • Manat Markahanggi • Elek Maranak Boru

3. Tolu Sahundulan (Simalungun) • Martondong Ningon Hormat, Sombah • Marsanina Ningon Pakkei, Manat • Marboru Ningon Elek, Pakkei

4. Rakut Sitelu (Karo) • Nembah Man Kalimbubu • Mehamat Man Sembuyak • Nami-nami Man Anak Beru

5. Daliken Sitelu (Pakpak) • Sembah Merkula-kula • Manat Merdengan Tubuh • Elek Marberru

    Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).

    Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya kadang-kadang saling gesek. Namun, pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.

    Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.

Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual.

Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raja no Dongan Tubu dan Raja ni Boru.

Ritual Kanibalisme

Ritual kanibalisme telah terdokumentasi dengan baik di kalangan orang Batak, yang bertujuan untuk memperkuat tondi pemakan itu. Secara khusus, darah, jantung, telapak tangan, dan telapak kaki dianggap sebagai kaya tondi.

Dalam memoir Marco Polo yang sempat datang berekspedisi dipesisir timur Sumatera dari bulan April sampai September 1292, ia menyebutkan bahwa ia berjumpa dengan orang yang menceritakan akan adanya masyarakyat pedalaman yang disebut sebagai "pemakan manusia".[17] Dari sumber-sumber sekunder, Marco Polo mencatat cerita tentang ritual kanibalisme di antara masyarakat "Battas". Walau Marco Polo hanya tinggal di wilayah pesisir, dan tidak pernah pergi langsung ke pedalaman untuk memverifikasi cerita tersebut, namun dia bisa menceritakan ritual tersebut.

Niccolò Da Conti (1395-1469), seorang Venesia yang menghabiskan sebagian besar tahun 1421 di Sumatra, dalam perjalanan panjangnya untuk misi perdagangan di Asia Tenggara (1414-1439), mencatat kehidupan masyarakat. Dia menulis sebuah deskripsi singkat tentang penduduk Batak: "Dalam bagian pulau, disebut Batech kanibal hidup berperang terus-menerus kepada tetangga mereka ".

Thomas Stamford Raffles pada 1820 mempelajari Batak dan ritual mereka, serta undang-undang mengenai konsumsi daging manusia, menulis secara detail tentang pelanggaran yang dibenarkan. Raffles menyatakan bahwa: "Suatu hal yang biasa dimana orang-orang memakan orang tua mereka ketika terlalu tua untuk bekerja, dan untuk kejahatan tertentu penjahat akan dimakan hidup-hidup".. "daging dimakan mentah atau dipanggang, dengan kapur, garam dan sedikit nasi".

Para dokter Jerman dan ahli geografi Franz Wilhelm Junghuhn, mengunjungi tanah Batak pada tahun 1840-1841. Junghuhn mengatakan tentang ritual kanibalisme di antara orang Batak (yang ia sebut "Battaer"). Junghuhn menceritakan bagaimana setelah penerbangan berbahaya dan lapar, ia tiba di sebuah desa yang ramah. Makanan yang ditawarkan oleh tuan rumahnya adalah daging dari dua tahanan yang telah disembelih sehari sebelumnya. Namun hal ini terkadang dibesar-besarkan dengan maksud menakut-nakuti orang/pihak yang bermaksud menjajah dan/atau sesekali agar mendapatkan pekerjaan yang dibayar baik sebagai tukang pundak bagi pedagang maupun sebagai tentara bayaran bagi suku-suku pesisir yang diganggu oleh bajak laut.

Oscar von Kessel mengunjungi Silindung di tahun 1840-an, dan pada tahun 1844 mungkin orang Eropa pertama yang mengamati ritual kanibalisme Batak di mana suatu pezina dihukum dan dimakan hidup. Menariknya, terdapat deskripsi paralel dari Marsden untuk beberapa hal penting, von Kessel menyatakan bahwa kanibalisme dianggap oleh orang Batak sebagai perbuatan berdasarkan hukum dan aplikasinya dibatasi untuk pelanggaran yang sangat sempit yakni pencurian, perzinaan, mata-mata, atau pengkhianatan. Garam, cabe merah, dan lemon harus diberikan oleh keluarga korban sebagai tanda bahwa mereka menerima putusan masyarakat dan tidak memikirkan balas dendam.

Ida Pfeiffer mengunjungi Batak pada bulan Agustus 1852, dan meskipun dia tidak mengamati kanibalisme apapun, dia diberitahu bahwa: "Tahanan perang diikat pada sebuah pohon dan dipenggal sekaligus, tetapi darah secara hati-hati diawetkan untuk minuman, dan kadang-kadang dibuat menjadi semacam puding dengan nasi. Tubuh kemudian didistribusikan; telinga, hidung, dan telapak kaki adalah milik eksklusif raja, selain klaim atas sebagian lainnya. Telapak tangan, telapak kaki, daging kepala, jantung, serta hati, dibuat menjadi hidangan khas. Daging pada umumnya dipanggang serta dimakan dengan garam. Para perempuan tidak diizinkan untuk mengambil bagian dalam makan malam publik besar ".

Pada 1890, pemerintah kolonial Belanda melarang kanibalisme di wilayah kendali mereka.[26] Rumor kanibalisme Batak bertahan hingga awal abad ke-20, dan nampaknya kemungkinan bahwa adat tersebut telah jarang dilakukan sejak tahun 1816. Hal ini dikarenakan besarnya pengaruh agama pendatang dalam masyarakat Batak.

Tarombo

Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak kesasar (nalilu). Orang Batak diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.

Kontroversi

Sebagian orang Karo, Angkola, dan Mandailing tidak menyebut dirinya sebagai bagian dari suku Batak. Wacana itu muncul disebabkan karena pada umumnya kategori "Batak" dipandang rendah oleh bangsa-bangsa lain. Selain itu, perbedaan agama juga menyebabkan sebagian orang Tapanuli tidak ingin disebut sebagai Batak. Di pesisir timur laut Sumatera, khususnya di Kota Medan, perpecahan ini sangat terasa. Terutama dalam hal pemilihan pemimpin politik dan perebutan sumber-sumber ekonomi. Sumber lainnya menyatakan kata Batak ini berasal dari rencana Gubernur Jenderal Raffles yang membuat etnik Kristen yang berada antara Kesultanan Aceh dan Kerajaan Islam Minangkabau, di wilayah Barus Pedalaman, yang dinamakan Batak. Generalisasi kata Batak terhadap etnik Mandailing (Angkola) dan Karo, umumnya tak dapat diterima oleh keturunan asli wilayah itu. Demikian juga di Angkola, yang terdapat banyak pengungsi muslim yang berasal dari wilayah sekitar Danau Toba dan Samosir, akibat pelaksanaan dari pembuatan afdeeling Bataklanden oleh pemerintah Hindia Belanda, yang melarang penduduk muslim bermukim di wilayah tersebut.

Konflik terbesar adalah pertentangan antara masyarakat bagian utara Tapanuli dengan selatan Tapanuli, mengenai identitas Batak dan Mandailing. Bagian utara menuntut identitas Batak untuk sebagain besar penduduk Tapanuli, bahkan juga wilayah-wilayah di luarnya. Sedangkan bagian selatan menolak identitas Batak, dengan bertumpu pada unsur-unsur budaya dan sumber-sumber dari Barat. Penolakan masyarakat Mandailing yang tidak ingin disebut sebagai bagian dari etnis Batak, sempat mencuat ke permukaan dalam Kasus Syarikat Tapanuli (1919-1922), Kasus Pekuburan Sungai Mati (1922), dan Kasus Pembentukan Propinsi Tapanuli (2008-2009).

Dalam sensus penduduk tahun 1930 dan 2000, pemerintah mengklasifikasikan Simalungun, Karo, Toba, Mandailing, Pakpak dan Angkola sebagai etnis Batak.

INFO SEPUTAR TATA PERNIKAHAN ADAT BATAK

-
Urutan pra sampai pasca nikah adat batak
- Urutan acara Pesta Pernikahan Batak

Tujuannya untuk membantu para client kami sedikit lebih mengerti mengenai pernikahan adat batak yang mereka jalani, bukan cuma untuk membantu mengerti adat batak saja, kami juga memberikan video yang artistik, touching, modern. ringkas, padat dan menarik.

Berikut sedikit ulasan mengenai urut-urutan pra sampai pasca pernikahan adat Na Gok :

1. Mangarisika
Adalah kunjungan utusan pria yang tidak resmi ke tempat wanita dalam rangka penjajakan. Jika pintu terbuka untuk mengadakan peminangan maka pihak orang tua pria memberikan tanda mau (tanda holong dan pihak wanita memberi tanda mata). Jenis barang-barang pemberian itu dapat berupa kain, cincin emas, dan lain-lain.

2. Marhori-hori Dinding/marhusip..
Pembicaraan antara kedua belah pihak yang melamar dan yang dilamar, terbatas dalam hubungan kerabat terdekat dan belum diketahui oleh umum.

3. Marhata Sinamot
Pihak kerabat pria (dalam jumlah yang terbatas) datang oada kerabat wanita untuk melakukan marhata sinamot, membicarakan masalah uang jujur (tuhor).

4. Pudun Sauta
Pihak kerabat pria tanpa hula-hula mengantarkan wadah sumpit berisi nasi dan lauk pauknya (ternak yang sudah disembelih) yang diterima oleh pihak parboru dan setelah makan bersama dilanjutkan dengan pembagian Jambar Juhut (daging) kepada anggota kerabat, yang terdiri dari :

    Kerabat marga ibu (hula-hula)
    Kerabat marga ayah (dongan tubu)
    Anggota marga menantu (boru)
    Pengetuai (orang-orang tua)/pariban
    Diakhir kegiatan Pudun Saut maka pihak keluarga wanita dan pria bersepakat menentukan waktu Martumpol dan Pamasu-masuon.

5. Martumpol (baca : martuppol)
Penanda-tanganan persetujuan pernikahan oleh orang tua kedua belah pihak atas rencana perkawinan anak-anak mereka dihadapan pejabat gereja. Tata cara Partumpolon dilaksanakan oleh pejabat gereja sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tindak lanjut Partumpolon adalah pejabat gereja mewartakan rencana pernikahan dari kedua mempelai melalui warta jemaat, yang di HKBP disebut dengan Tingting (baca : tikting). Tingting ini harus dilakukan dua kali hari minggu berturut-turut. Apabila setelah dua kali tingting tidak ada gugatan dari pihak lain baru dapat dilanjutkan dengan pemberkatan nikah (pamasu-masuon).

6. Martonggo Raja atau Maria Raja.
Adalah suatu kegiatan pra pesta/acara yang bersifat seremonial yang mutlak diselenggarakan oleh penyelenggara pesta/acara yang bertujuan untuk :
Mempersiapkan kepentingan pesta/acara yang bersifat teknis dan non teknis
Pemberitahuan pada masyarakat bahwa pada waktu yang telah ditentukan ada pesta/acara pernikahan dan berkenaan dengan itu agar pihak lain tidak mengadakan pesta/acara dalam waktu yang bersamaan.
Memohon izin pada masyarakat sekitar terutama dongan sahuta atau penggunaan fasilitas umum pada pesta yang telah direncanakan.

7. Manjalo Pasu-pasu Parbagason (Pemberkatan Pernikahan)
Pengesahan pernikahan kedua mempelai menurut tatacara gereja (pemberkatan pernikahan oleh pejabat gereja). Setelah pemberkatan pernikahan selesai maka kedua mempelai sudah sah sebagai suami-istri menurut gereja. Setelah selesai seluruh acara pamasu-masuon, kedua belah pihak yang turut serta dalam acara pamasu-masuon maupun yang tidak pergi menuju tempat kediaman orang tua/kerabat orang tua wanita untuk mengadakan pesta unjuk. Pesta unjuk oleh kerabat pria disebut Pesta Mangalap parumaen (baca : parmaen)

8. Pesta Unjuk
Suatu acara perayaan yang bersifat sukacita atas pernikahan putra dan putri. Ciri pesta sukacita ialah berbagi jambar :

    Jambar yang dibagi-bagikan untuk kerabat parboru adalah jambar juhut (daging) dan jambar uang (tuhor ni boru) dibagi menurut peraturan.
    Jambar yang dibagi-bagikan bagi kerabat paranak adalah dengke (baca : dekke) dan ulos yang dibagi menurut peraturan. Pesta Unjuk ini diakhiri dengan membawa pulang pengantin ke rumah paranak.

9. Mangihut di ampang
Yaitu mempelai wanita dibawa ke tempat mempelai pria yang dielu-elukan kerabat pria dengan mengiringi jual berisi makanan bertutup ulos yang disediakan oleh pihak kerabat pria.

10. Ditaruhon Jual
Jika pesta untuk pernikahan itu dilakukan di rumah mempelai pria, maka mempelai wanita dibolehkan pulang ke tempat orang tuanya untuk kemudian diantar lagi oleh para namborunya ke tempat namborunya. Dalam hal ini paranak wajib memberikan upa manaru (upah mengantar), sedang dalam dialap jual upa manaru tidak dikenal.

11. Paranak makan bersama di tempat kediaman si Pria  (Daulat ni si Panganon)

    Setibanya pengantin wanita beserta rombongan di rumah pengantin pria, maka diadakanlah acara makan bersama dengan seluruh undangan yang masih berkenan ikut ke rumah pengantin pria.
    Makanan yang dimakan adalah makanan yang dibawa oleh pihak parboru

12. Paulak Unea

    Setelah satu, tiga, lima atau tujuh hari si wanita tinggal bersama dengan suaminya, maka paranak, minimum pengantin pria bersama istrinya pergi ke rumah mertuanya untuk menyatakan terima kasih atas berjalannya acara pernikahan dengan baik, terutama keadaan baik pengantin wanita pada masa gadisnya (acara ini lebih bersifat aspek hukum berkaitan dengan kesucian si wanita sampai ia masuk di dalam pernikahan).
    Setelah selesai acara paulak une, paranak kembali ke kampung halamannya/rumahnya dan selanjutnya memulai hidup baru.

13. Manjahea
Setelah beberapa lama pengantin pria dan wanita menjalani hidup berumah tangga (kalau pria tersebut bukan anak bungsu), maka ia akan dipajae, yaitu dipisah rumah (tempat tinggal) dan mata pencarian.

14. Maningkir Tangga (baca : manikkir tangga)
Beberapa lama setelah pengantin pria dan wanita berumah tangga terutama setelah berdiri sendiri (rumah dan mata pencariannya telah dipisah dari orang tua si laki-laki) maka datanglah berkunjung parboru kepada paranak dengan maksud maningkir tangga (yang dimaksud dengan tangga disini adalah rumah tangga pengantin baru). Dalam kunjungan ini parboru juga membawa makanan (nasi dan lauk pauk, dengke sitio tio dan dengke simundur-mundur)

Disadur dari http://rapolo.wordpress.com/2007/12/19/tata-cara-dan-urutan-pernikahan-adat-na-gok/

Urutan ACARA PESTA ADAT PERNIKAHAN BATAK

1.MARSIBUHA BUHAI
Pagi hari sebelum dimulai pemberkatan/catatan sipil/pesta adat, acara dimulai dengan penjemputan mempelai wanita di rumah disertai dengan makan pagi bersama dan berdoa untuk kelangsungan pesta pernikahan,
biasanya disini ada penyerahan bunga oleh mempelai pria dan pemasangan bunga oleh mempelai wanita dilanjutkan dengan penyerahan Tudu-tudu Ni Sipanganon dan Menyerahkan dengke lalu makan bersama, selanjutmya berangkat menuju gereja untuk pemberkatan.

BEBERAPA Pengertian POKOK DALAM ADAT PERKAWINAN

    Suhut , kedua pihak yang punya hajatan
    Parboru, orang tua  pengenten perempuan=Bona ni haushuton
    Paranak, orang tua  pengenten Pria= Suhut Bolon.
    Suhut Bolahan amak : Suhut yang menjadi tuan rumah dimana acara adat di selenggrakan.
    Suhut naniambangan, suhut yang datang
    Hula-hula, saudara laki-laki dari isteri masing-masing suhut
    Dongan Tubu, semua saudara laki masing-masing suhut ( Tobing dan Batubara).
    Boru, semua yang isterinya semarga dengan marga kedua suhut ( boru Tobing dan boru Batubara).
    Dongan sahuta, arti harafiah “teman sekampung” semua yang tinggal dalam huta/kampung komunitas (daerah tertentu)  yang sama paradaton/solupnya.
    Ale-ale, sahabat yang diundang bukan berdasarkan garis persaudaraan (kekerabatan atau silsilah) .
    Uduran, rombongan masing-masing suhut, maupun rombongan masing-masing hula-hulanya.
    Raja Parhata (RP), Protokol (PR) atau Juru Bicara (JB) masing-masing suhut, juru bicara yang ditetapkan masing-masng pihak
    Namargoar, Tanda Makanan Adat , bagian-bagian tubuh hewan yang dipotong yang menandakan makanan adat itu adalah dari satu hewan (lembu/kerbau) yang utuh, yang nantinya dibagikan.
    Jambar, namargoar yang  dibagikan kepada yang berhak, sebagai legitimasi dan fungsi keberadaannya dalan acara adat itu.
    Dalihan Na Tolu (DNT), terjemahan harafiah”Tungku Nan Tiga” satu sistim kekerabatan dan way of life masyarakat Adat Batak
    Solup, takaran beras dari bambu yang dipakai sebagai analogi paradaton, yang bermakna dihuta imana acara adat batak diadakan solup/paradaton dari huta itulah yang dipakai sebagai rujukan, atau disebut dengan hukum tradisi “sidapot solup do na ro

PROSESI MASUK TEMPAT  ACARA ADAT
(Contoh Acara di Tempat Perempuan)

    Raja Parhata/Protokol Pihak Perempuan= PRW
    Raja Parhata/Protokol Pihak Laki-laki    =  PRP
    Suhut Pihak Wanita = SW
    Suhut Pihak Pria       = SP

    PRW meminta semua dongan tubu/semaraganya bersiap untuk menyambut dan menerima kedatangan rombongan hula-hula dan tulang
    PRW memberi tahu kepada Hula-hula, bahwa SP sudah siap menyambut dan menerima kedatangan Hula-hula
    Setelah hula-hula mengatakan mereka sudah siap untuk masuk, PRW mempersilakan masuk dengan menyebut satu persatu, hula-hula dan tulangnya secara berurutan sesuai urutan rombongan masuk nanti: dimulai dar Hula-hula Simorangkir

    1. Hula-hula, ……
    2. Tulang, …….
    3. Bona Tulang, …..
    4. Tulang Rorobot, …..
    5. Bonaniari, ……
    6. Hula-hula namarhahamaranggi:
        - a …
        - b…. 
        - c….
        - dst
    7.Hula-hula anak manjae, … dengan permintaan agara mereka bersam-sama    masuk dan menyerahkan pengaturan selanjutnya kepada hula-hula    Simorangkir
    PR Hulahula, menyampaikan kepada rombongan hula-hula dan tulang yang sudah disebutkan PRW pada III , bahwa SW sudah siap menerima kedatangan rombongan hula-hula dan tulang dengan permintaan agar uduran Hula-hula dan Tulang memasuki tempat acara , secara  bersama-sama.
    Untuk itu diatur urut-urutan uduran (rombongan) hula-hula dan tulang yang akan memasuki ruangan. Uduran yang pertama adalah Hula-hula,……, diikuti TULANG …….sesuai urut-urutan yang disebut kan PRW pada (3).
    MENERIMA KEDATANGAN SUHUT PARANAK (SP).
    Setelah seluruh rombongan hula-hula dan tulang dari SW duduk (acara 4), rombongan Paranak/SP dipersilakan memasuki ruangan.
    PRW, memberitahu bahwa tempat untuk SP dan uduran/rombongannya sudah disediakan dan SW sudah siap menerima kedatangan mereka beserta Hula-hula , Tulang SP dan uduran/rombongannya
    PRP menyampaikan kepada dongan tubu Batubara, bahwa sudah ada permintaan dari Tobing agar mereka memasuki ruangan.
    Kepada hula-hula dan tulang (disebutkan satu perasatu) yaitu:
    1.   Hula-hula, ….
    2.   Tulang, …..
    3.   Bona Tulang, ….
    4.   Tulang Rorobot, …..
    5.   Bonaniari , …..
    6.   Hula-hula namarhaha-marnggi:
               -  a…….
               -  b …….
               -  c…….
               -  dst
    7.   Hula-hula anak manjae…..
                   
    PRP memohon, sesuai permintaan hula-hula SW agar mereka masuk bersama-sama dengan SP. Untuk itu tatacara dan urutan memasuki ruangan diatur, pertama adalah Uduran/rombongan SP& Borunya, disusul Hula-hula….., Tulang…..dan seterusnya sesuai urut-urutan yang telah dibacakan PR Batubara (Dibacakan sekali lagi kalau sudah mulai masuk).

MENYERAHKAN TANDA MAKANAN ADAT.
(Tudu-tudu Ni Sipanganon)

Tanda makanan adat yang pokok adalah: kepala utuh, leher (tanggalan), rusuk melingkar (somba-somba) , pangkal paha (soit), punggung dengan ekor (upasira), hati dan jantung ditempatkan dalam baskom/ember besar.

Tanda makanan adat diserahkan SP beserta Isteri didampingi saudara yang lain dipandu PRP, diserahkan kepada SW dengan bahasa adat, yang intinya menunjukkan kerendahan hati dengan mengatakan walaupun makanan yang dibawa itu sedikit/ala kadarnya  semoga ia tetap membawa manfaat dan berkat jasmani dan rohani hula-hula SW dan semua yang menyantap nya, sambil menyebut bahasa adat : Sitiktikma si gompa, golang golang pangarahutna, tung so sadia (otik) pe naung pinatupa i, sai godangma pinasuna.

MENYERAHKAN DENGKE/IKAN OLEH SW

Aslinya ikan yang diberikan adalah jenis “ihan” atau ikan Batak, sejenis ikan yang hanya hidup di Danau Toba dan sungai Asahan bagian hulu dan rasanya memang manis dan khas. Ikan ini mempunyai sifat hidup di air yang jernih (tio) dan kalau berenang/berjalan selalu beriringan (mudur-udur) , karena itu disebut ; dengke sitio-tio, dengke si mudur-udur (ikan yang hidup jernih dan selalu beriringan/berjalan beriringan bersama)
Simbol inilah yang menjadi harapan kepada penganeten dan keluarganya yaitu seia sekata beriringan dan murah rejeki (tio pancarian dohot pangomoan).

Tetapi sekarang ihan sudah sangat sulit didapat, dan jenis ikan mas sudah biasa digunakan. Ikan Masa ini  dimasak khasa Batak yang disebut “naniarsik” ikan yang dimasak (direbus) dengan bumbu tertentu sampai airnya berkurang pada kadar tertentu dan bumbunya sudah meresap kedalam daging ikan itu.

MAKAN BERSAMA

Sebelum bersantap makan, terlebih dahulu berdoa dari suhut Pria (SP) , karena pada dasarnya SP yang membawa makanan itu walaupun acara adatnya di tempat SW.
Untuk kata pengantar makan, PRP menyampaikan satu uppasa (ungkapan adat) dalam bahasa Batak seperti waktu menyerahakan tanda makanan adat:
Sitiktikma si gompa, golang golang pangarahutna
Tung, sosadiape napinatupa on, sai godangma pinasuna.
  
Ungkapan ini menggambarkan kerendahan hati yang memebawa makanan (Batubara), dengan  mengatakan walaupun makanan yang dihidangkan tidak seberapa (pada hal hewan yang diptong yang menjadi santapan adalah hewan lembu atau kerbau yang utuh), tetapi mengharapkan agar semua dapat menikmatinya serta membawa berkat.

Kemudian PRP mempersilakan bersantap

MEMBAGI JAMBAR/TANDA MAKANAN ADAT

Biasanya sebelum jambar dibagi, terlebih dahulu dirundingkan bagian-bagian mana yang diberikan SW kepada SP. Tetapi, yang dianut dalam acara adat yaitu Solup Batam, yang disebut dengan “JAMBAR MANGIHUT”dimana jambar sudah dibicarakan sebelumnya dan dalam acara adatnya (unjuk) SW tinggal memberikan bagian jambar untuk SP sebagai ulu ni dengke mulak. Selanjutnya masing masing suhut membagikannya kepada masing-masing  fungsi dari pihaknya masing-masing saat makan sampai selesai dibagikan

MANAJALO TUMPAK (SUMBANGAN TANDA KASIH)


Arti harafiah tumpak adalah sumbangan bentuk uang, tetapi  melihat keberadaan masing-masing dalam acara adat mungkin istilah yang lebih tepat adalah tanda kasih. Yang memberikan tumpak adalah undangan SUHUT PRIA, yang diantarkan ketempat SUHUT duduk dengan memasukkannya dalam baskom yang disediakan/ ditempatkan dihadapan SUHUT, sambil menyalami pengenten dan SUHUT.

Setelah selesai santap makan, PRP meminta ijin kepada PRW agar mereke diberi waktu untuk menerima para undangan mereka untuk mengantarkan tumpak (tanda kasih)

Setelah PRW mempersilakan, PRP menyampai kan kepada dongan tubu, boru/bere dan undangannya bahwa  SP sudah siap menerima kedatangan mereka untuk mengantar tumpak.

etelah selesai PRP mengucapkan terima kasih atas pemberian tanda kasih dari para undangannya

    

ACARA PERCAKAPAN ADAT

MEMPERSIAPKAN PERCAKAPAN

    RPW menanyakan Batubara apakah sudah siap memulai percakapan, yang dijawab oleh SP, mereka sudah siap
    Masing-masing PRW dan PRP menyampaikan kepada pihaknya dan hula-hula serta tulangnya bahwa percakapan adat akan dimulai, dan memohon kepada hula-hulanya agar berkenan memberi nasehat kepada mereka dalam percakapan adat nanti

MEMULAI PERCAKAPAN (PINGGAN PANUNGKUNAN) .

Pinggan Panungkunan, adalah piring yang didalamnya ada beras, sirih, sepotong daging (tanggo-tanggo) dan uang 4 lembar. Piring dengan isinya ini adalah sarana dan simbol untuk memulai percakapan adat.

    PRP meminta seorang borunya mengantar Pinggan Panungkunan itu kepada PRW
    PRW,  menyampaikan telah menerima Pinggan Panungkunan dengan menjelaskan apa arti semua isi yang ada dalam beras itu. Kemudian PRW mengambil 3 lembar uang itu, dan kemudian meminta salah seorang borunya untuk mengantar piring itu kembali kepada PRP
    PRW membuka percakapan dengan memulainya dengan penjelasan makna dari tiap isi  pinggan panungkunan (beras, sirih, daging dan uang), kemudian menanyakan kepada Batubara makna tanda dan makanan adat yang sudah dibawa dan dihidangkan oleh pihak Batubara.
    Akhir dari pembukaan percakapan ini, keluarga Batubara mengatakan bahwa makanan dan minuman pertanda pengucapan syukur karena berada dalam keadaan sehat, dan tujuan Batubara  adalah menyerahkan kekurangan sinamot , dilanjutkan adat yang terkait dengan pernikahan anak mereka

PENYERAHAN PANGGOHI/KEKURANGAN SINAMOT

    Dalam percakapan selanjutnya, setelah PRW meminta PRP menguraikan apa/berapa yang mau mereka serahkan , PRP  memberi tahukan kekurangan sinamot yang akan mereka serahkan adalah sebsar Rp…Juta, menggenapi seluruh sinamot Rp….Juta. (Pada waktu acara Pudun Saut, Batubara sudah menyerahkan Rp 15 juta sebagai bohi sinamot (mendahulukan sebagian penyerahan sinamot di acara adat na gok).
    Sebelum PR TOBING mengiakan lebih dulu RP TOBING meminta nasehat dari Hula-hula dan pendapat dari boru Tobing
    Sesudah diiakan oleh PR TOBING, selanjutnya penyerahan kekurangan sinamot kepada suhut Tobing oleh Batubara.

PENYERAHAN PANANDAION.


Tujuan acara ini memperkenalkan keluarga pihak perempuan agar keluarga pihak pria mengenal siapa saja kerabat pihak perempuan sambil memberikan uang kepada yang bersangkutan

          

Secara simbolis, yang diberikan langsung hanya kepada 4 orang saja, yang disebut dengan patodoan atau “suhi ampang na opat”  ( 4 kaki dudukan/pemikul  bakul)  yang merupakan symbol pilar jadinya acara adat itu. Dengan demikian biarpun hanya yang empat itu yang dikenal/menerima langsung, sudah mewakili menerima semuanya. (Mungkin dapat dianalogikan dengan pemberian tanda penghargaan massal kepada pegawai PNS yang diwakili 4 orang, masing-masing 1 orang dari tiap golngan I sampai golongan IV)



Kepada yang lain diberikan dalam satu envelope saja yang nanti akan dibagikan Tobing kepada yang bersangkutan.    

PENYERAHAN TINTIN MARANGKUP

  

Diberikan kepada tulang /paman penganten pria (saudara laki ibu   penganten pria). Yang menyerahkan adalah orang tua penganten perempuan berupa uang dari bagian sinamot itu

Secara tradisi penganten pria mengambil boru tulangnya untuk isterinya, sehingga yang menerima sinamot seharusnya tulangnya                   

Dengan diterimanya sebagian sinamot itu oleh Tulang Pengenten Pria yang disebut titin marangkup, maka Tulang Pria mengaku penganten wanita, isteri ponakannya ini, sudah dianggapnya sebagai boru/putrinya sendiri walaupun itu boru dari marga lain.                    

                

PEMBERIAN ULOS oleh Pihak Perempuan.

Dalam Adat Batak tradisi lama atau religi lama, ulos merupakan sarana penting bagi hula-hula, untuk menyatakan atau menyalurkan sahala atau berkatnya kepada borunya, disamping ikan, beras dan kata-kata berkat. Pada waktu pembuatannya ulos dianggap sudah mempunyai “kuasa”. Karena itu,   pemberian ulos, baik yang memberi maupun yang menerimanya  tidak sembarang orang , harus mempunyai alur tertentu, antara lain adalah dari Hula-hula kepada borunya, orang tua kepada anank-anaknya. Dengan pemahaman iman yang dianut sekarang, ulos tidak mempunyai nilai magis lagi sehingga ia sebagai simbol dalam pelaksaan acara adat.

Ujung dari ulos selalu banyak rambunya sehingga disebut “ulos siganjang/sigodang rambu”(Rambu, benang di ujung ulos yang dibiarkan terurai)

Pemberian Ulos sesuai maknanya adalah sebagai  berikut:

Ulos Namarhadohoan

No     Uraian Yang Menerima             Keterangan  
A       Kepada Paranak
         1.     Pasamot/Pansamot          Orang tua pengenten pria    
         2.     Hela                                  Pengenten 


B       Partodoan/Suhi Ampang Naopat        
         1.     Pamarai                             Kakak/Adek dari ayah pengenten pria 
         2.     Simanggokkon                   Kakak/Adek dari pengenten pria
         3.     Namborunya                      Saudra perempuan  dari ayah pengenten pria  
         4.     Sihunti Ampang                 Kakak/Adek perempuan dari  pengenten pria   

Ulos Kepada Pengenten
No      Uraian Yang Mangulosi  
A       Dari Parboru/Partodoan   
         1.     Pamarai 1 lembar, wajib Kakak/Adek dari ayah pengenten wanita
         2.     Simandokkon  Kakak/Adek laki-laki dari pengenten wanita  
         3.     Namborunya (Parorot)  Iboto dari  ayah pengenten wanita   
         4.     Pariban   Kakak/Adek dari  pengenten wanita   
B       Hula-hula dan Tulang Parboru        
         1.     Hula-hula       1 lembar, wajib
         2.     Tulang  1 lembar, wajib
         3.     Bona Tulang     1 lembar, wajib
         4.     Tulang Rorobot  1 lembar, tidak wajib
C       Hula-hula dan Tulang Paranak        
         1.     Hula-hula       1 lembar, wajib
         2.     Tulang  1 lembar, wajib
         3.     Bona Tulang     1 lembar, wajib
         4.     Tulang Rorobot  1 lembar, tidak wajib

MANGUNJUNGI ULAON (Menyimpulkan Acara Adat)

    Manggabei (kata-kata doa dan restu) dari pihak SW Berupa kata-kata pengucapan syukur kepada Tuhan bahwa acara adat sudah terselenggara dengan baik:
      a.    Ucapan terima kasih kepada dongan tubu dan hula-hulanya
      b.    Permintaan kepada Tuhan agar rumah tangga yang baru diberkati          demikian juga orang tua pengenten dan saudara Batubara yang          lainnya
    Mangampu (ucapan terima kasih) dari pihak SP
    Ucapan terima kasih kepada semua pihak baik kepada hula-hula SW maupun kepada SP atas terselenggaranya acara adat nagok ini.
    Mangolopkon (Mengamenkan) oleh Tua-tua/yang dituakan di Kampung itu

    Kedua suhut Tobing dan Batubara, menyediakan piring yang diisi beras dan uang  ( biasanya ratusan lembar pecahan Rp1.000 yang baru) kemudian diserahkan kepada Rja Huta yang mau mangolopkon Raja Huta berdiri sambil mengangkat piring yang berisi beras dan uang olop-olop itu. Dengan  terlebih dahulu menyampaikan kata-kata ucapan Puji Syukur kepada Tuhan Karen kasih-Nya cara adat rampung dalam suasan dami (sonang so haribo-riboan) serta restu dan harapan kemudian  diahiri , dengan mengucapkan : olop olop, olop olop, olop olop sambil menabur kan beras keatas dan kemudian membagikan uang olop-olop itu.
    itutup dengan doa  / ucapan syukur
    Akhirnya acara adat ditutup dengan doa oleh Hamba Tuhan.Sesudah amin, sam-sam mengucapkan: horas ! horas  ! horas !
    Bersalaman untuk pulang,, suhut na niambangan  Batubara menyalami Suhut Tobing

CATATAN:

Sekarang ini ada yang melaksanakan acara paulak une dan maningkir tangga langsung setelah acara adat ditempat acara adat dilakukan, yang mereka namakan “Ulaon Sadari”